Laman

Friday, May 17, 2013

JUARA 1 CALL FOR ESSAY FSDE 2011 SUBSEKTOR PERTANIAN



Call For Essay

INOVASI SKEMA PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN BERLANDASKAN PRINSIP SYARIAH



Ditulis untuk mengikuti Lomba Call For Essay FSDE UGM 2011
Dipresentasikan pada 18 November 2011 di FEB UGM
Meraih Juara 1 pada  Lomba Call For Essay FSDE UGM 2011 subsektor Pertanian

·         Barokah Sasono Raharjo
·         M. Vitrho H.P

Departemen Ekonomi Syariah
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Airlangga
2011




Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu dan batu jadi tanaman…
Penggalan lagu “kolam susu” ini  sudah tidak asing lagi bagi bagi sebagian besar rakyat Indonesia khususnya para penggemar kelompok musik Koes Plus. Lagu yang menggambarkan kekayaan alam nusantara tersebut masih cukup dikenal oleh anak-anak muda di masa kini. Namun, masih relevankah lagu tersebut untuk merepresentasikan Indonesia kita saat ini? Kekayaan alam yang telah dikaruniakan kepada bangsa ini hendaknya dikelola dengan baik sehingga bermanfaat secara adil bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Bahkan jika pengelolaan yang baik tersebut terlaksana, bukan mustahil Negara Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi dunia sebagai penyedia bahan pangan.
Akan tetapi kenyataannya Indonesia saat ini dihadapkan pada permasalahan pelik, yakni ketergantungan impor bahan pangan. Berdasarkan data BPS, selama semester I 2011 (Januari-Juni), Indonesia telah mengimpor bahan pangan, baik mentah maupun olahan, senilai 5,36 milliar dollar AS atau sekitar 45 triliun rupiah dengan volume impor mencapai 11,33 juta ton. BPS mencatat, Indonesia mengimpor sedikitnya 28 komoditi pangan mulai dari beras, jagung, kedelai, gandum,terigu, gula pasir, gula tebu, daging sapi, daging ayam, mentega, minyak goreng, susu, bawang merah, bawang putih, telur,kelapa, kelapa sawit, lada, teh,kopi, cengkeh, kakao, cabai segar dingin, cabai kering tumbuk, cabai awet, tembakau dan bahkan singkong alias ubi kayu juga diimpor.
            Situasi tersebut diperparah dengan kenestapaan nasib petani. Saat ini petani sering dikonotasikan sebagai kaum marginal. Stigma yang muncul di masyarakat, petani selalu hidup pas-pasan, kesejahteraan buruk, dan merupakan profesi yang tidak  menjanjikan. Seakan yang jelek-jelek adalah milik petani. Hidup petani telah berada pada lingkaran setan (vicious circle). Stigma tersebut bukan tanpa alasan, berdasar data BPS penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2007 tercatat 37,2 juta jiwa. Sekitar 63,4% dari jumlah tersebut berada di perdesaan dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian. Padahal sebagai negara agraris, sektor pertanian seharusnya memperoleh perhatian khusus. Soekartawi (1996) melihat peran penting sektor pertanian di antaranya sebagai andalan mata pencaharian sebagian besar penduduk, sumbangannya terhadap PDB, kontribusi terhadap ekspor (devisa), bahan baku industri, serta dalam penyediaan bahan pangan dan gizi. Beberapa kali sektor pertanian juga terbukti mampu menjadi penyangga perekonomian nasional saat terjadi krisis ekonomi. Oleh karena itu, apabila sektor pertanian ini tidak mendapatkan perhatian yang serius maka dampak-dampak negatif seperti pengangguran, kemiskinan, krisis pangan, dan ketergantungan akan pihak asing akan semakin besar.
            Walaupun sangat strategis, sektor pertanian masih dihadapkan pada banyak masalah. Pertama, Sumber Daya Manusia yang low-educated. Kebanyakan petani tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi sehingga pengelolaan pertanian tidak berjalan optimal. Kedua, pertanian merupakan sektor yang dianggap sangat berisiko untuk dijadikan lahan investasi. Ancaman gagal panen, serangan hama, kekeringan, dan fluktuasi harga yang tajam sering menghantui investor untuk menanam modalnya. Ketiga, keterbatasan dana atau modal petani. Masalah permodalan ini karena akses pembiayaan yang tidak dimiliki petani yang disebabkan ketidakmampuannya menyediakan agunan, terbatasnya jumlah dan jangkauan operasi bank sementara para petani rata-rata hidup di pedesaan, kondisi pertanian yang besifat long-term (jangka panjang) sementara perbankan menghadapi kebutuhan short term untuk memenuhi kebutuhan likuiditas. Akumulasi dari permasalahan di atas menyebabkan jumlah kredit yang disalurkan ke sektor pertanian hanya sekitar 5,28% dari total kredit nasional.
Pembiayaan Syariah VS Konvensional
Kendala permodalan telah menjadi fenomena umum sektor pertanian  di Indonesia. Sampai saat ini mayoritas kredit yang dikucurkan untuk sektor pertanian berasal dari pembiayaan konvensional dan berbasis bunga. Sistem pembiayaan tersebut jika ditinjau lebih lanjut ternyata memiliki dampak yang buruk bagi petani. Bunga sangat memberatkan petani, karena untuk menghasilkan profit saja petani harus bersusah payah, apalagi jika harus dibebani bunga. Diakui atau tidak, pemberlakuan sistem bunga dalam skim pembiayaan atau kredit oleh kebanyakan bank konvensional sangat kontraproduktif dengan sektor pertanian, apalagi tingkat suku bunga bank yang saat ini sangat tinggi dinilai memberatkan dan kurang berpihak terutama pada kepentingan petani sebagai komponen vital sektor pertanian. Bahkan beberapa program pemerintah yang berkaitan dengan pembiayaan untuk sektor pertanian juga tidak luput dari sistem bunga ini. Sebagai misal, kisaran tingkat suku bunga setelah subsidi sebesar 6-7% yang berlaku pada program Kredit Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) dirasakan masih memberatkan (Deptan, 2009). Di samping itu, tingkat suku bunga yang sedemikian tinggi akan membuat iklim usaha pertanian semakin sulit karena pelaku usaha tani harus menyediakan dana setiap bulannya untuk membayar bunga kepada bank, sementara sebagian besar perhitungan keuntungan dalam usaha tani dilakukan setelah masa panen. Kondisi usaha sektor pertanian akan semakin hancur dengan sistem bunga ini, ketika bunga harus tetap dibayarkan walaupun usaha tani dalam kondisi merugi. Menyikapi hal tersebut, maka diperlukan pola pembiayaan dengan sistem syariah. Selain berbeda dengan konsep konvensional (bunga), pola yang berlaku dalam pembiayaan sistem syariah lebih berprinsip pada pola bagi hasil yang saling menguntungkan. Sudah saatnya ada sistem pembiayaan alternatif yang tidak hanya memperkuat modal usaha pertanian, namun juga mengandung nilai-nilai keadilan. Model pembiayaan syariah diharapkan menjadi salah satu solusinya.
Secara teori, ada tiga hal yang menjadi ciri dari pembiayaan berbasis syariah, yaitu (1) bebas bunga, (2) berprinsip bagi hasil dan risiko, dan (3) perhitungan bagi hasil tidak dilakukan di muka. Berbeda dengan kredit konvensional yang memperhitungkan suku bunga di depan, ekonomi syariah menghitung hasil setelah periode transaksi berakhir. Hal ini berarti dalam pembiayaan syariah pembagian hasil dilakukan setelah ada keuntungan riil, bukan berdasar hasil perhitungan spekulatif. Sistem bagi hasil ini dipandang lebih sesuai dengan iklim bisnis yang memang mempunyai potensi untung dan rugi. Baik sistem bunga maupun bagi hasil sebenarnya sama-sama dapat memberikan keuntungan bagi pemilik dana (bank/lembaga keuangan), namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata.
Peluang Pembiayaan Syariah untuk Pertanian
Per awal November 2009 silam, masyarakat dapat menikmati layanan jasa perbankan syariah melalui 1.101 kantor bank syariah yang dioperasikan oleh 6 Bank Umum Syariah dan 25 UUS dan 138 BPR Syariah. Pertumbuhan perbankan syariah memberikan harapan akan semakin besarnya peran perbankan syariah untuk pembiayaan sektor riil, termasuk pertanian. Harapan ini setidaknya dilandasi oleh beberapa hal, pertama karakteristik pembiayaan syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian. Dalam dunia bisnis (termasuk pertanian), pasang surut usaha merupakan keniscayaan. Skim pembiayaan syariah, terutama bagi hasil, sangat sesuai dengan sifat bisnis pertanian sehingga lebih memberikan rasa keadilan. Kedua, model pembiayaan syariah sudah dipraktekkan secara luas oleh petani Indonesia. Secara budaya masyarakat petani sudah mengenal model pembiayaan yang menyerupai system syariah seperti maro dan mertelu. Petani akan lebih mudah dan cepat memahami konsep pembiayaan syariah karena secara historis maupun faktual pernah atau masih mempraktekkan skim tersebut.
Ketiga, usaha di sektor pertanian merupakan bisnis riil. Hal ini sesuai dengan prinsip pembiayaan syariah yang menitikberatkan pada pembiayaan sektor riil dan melarang pembiayaan pada sektor yang spekulatif. Subprime mortgage pada tahun 2008 di Amerika dan krisis utang yang melanda Eropa saat ini merupakan dampak negatif dari investasi di sektor spekulatif.
Terakhir, skim pembiayaan syariah ini mengandung nilai yang bersifat universal dan tidak eksklusif sehingga akan mempermudah penerimaan konsep pembiayaan syariah oleh semua lapisan
Inovasi
Meskipun perbankan syariah sangat berpeluang untuk membiayai sektor pertanian, namun demikian, pada kenyataannya penyaluran pembiayaan perbankan syariah terhadap sektor pertanian masih relatif kecil, bahkan pada tahun 2010 persentasenya hanya mencapai angka 2,58 persen. Kecilnya alokasi pembiayaan ini selain disebabkan berbagai masalah yang telah disebutkan di atas, juga disebabkan pihak perbankan syariah belum menciptakan inovasi-inovasi untuk mengembangkan dan mendongkrak pembiayaan di sektor pertanian. Inovasi tersebut dapat berupa pendampingan, pelatihan dan penyuluhan bagi para petani. Pelatihan ini tidak terbatas pada bagaimana cara bertani yang baik dan efisien serta menghasilkan produk unggulan, namun perlu juga pelatihan dalam cara membuat proposal atau cash flow usaha dan pengelolaan keuangan untuk mempermudah mendapat akses pembiayaan dari pihak perbankan. Pelatihan semacam ini dapat terlaksana dengan kerja sama antara pihak perbankan Syariah dan universitas dengan memanfaatkan program KKN (Kuliah Kerja Nyata). Materi pelatihan ini difokuskan pada bagaimana cara membuat proposal atau cash flow yang mudah dimengerti petani dan dapat diterima perbankan Syariah. Dengan begitu, cost yang dikeluarkan bank-bank Syariah untuk mengadakan pelatihan ini dapat diminimalisir karena yang terjun langsung ke lapangan adalah mahasiswa yang berperan sebagai volunteer.
Selain itu, inovasi yang perlu dikembangkan dalam skim pembiayaan sektor pertanian berlandaskan syariah adalah pendirian lembaga asuransi syariah pertanian. Khusus untuk asuransi syariah, di samping di dalamnya terdapat konsep berasuransi secara universal, juga terdapat nuansa syariah dalam standar penerapannya. Asuransi syariah menurut Dewan Syariah Nasional adalah usaha untuk saling melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru‘ yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko atau bahaya tertentu melalui akad yang sesuai syariah. Apalagi Ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk menyantuni orang yang kehilangan harta benda, kematian kerabat maupun musibah lainnya. Tindakan tersebut merupakan wujud kepedulian dan solidaritas (itsar), serta tolong menolong (ta‘awun) antar warga masyarakat, baik muslim maupun non-muslim. Dengan cara demikian rasa persaudaraan (ukhuwah) akan semakin kokoh. Melihat tingginya risiko sektor pertanian, lembaga ini sangat urgen keberadaaanya untuk mengurangi beban petani akibat adanya gagal panen, bencana, serangan hama, dan hal-hal yang tidak diharapkan lainnya. Efek selanjutnya NPL (Non Performing Loan) dari petani akan tereduksi sehingga perbankan akan semakin melirik sektor pertanian.  
 Peran pemerintah juga sangat diharapkan untuk membuka lebih lebar akses pembiayaan sektor pertanian. Masalah yang sangat fundamental dalam pembiayaan ini adalah unsur trust yang kurang dari pihak perbankan terhadap sektor pertanian. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah hendaknya mendirikan sebuah lembaga penjamin kredit sektor pertanian. Lembaga ini bertugas menjamin alokasi kredit yang dikucurkan perbankan syariah sehingga apabila sewaktu-waktu terjadi kredit macet maka pihak bank tidak mengalami kerugian. Besaran jaminan yang ditentukan hendaknya dibahas lebih lanjut oleh para pengambil kebijakan. Berapapun besaran jaminan yang diberikan, paling tidak dapat meningkatkan trust dari perbankan untuk membiayai sektor pertanian. Selain itu, lembaga ini akan menyelesaikan masalah klasik petani, yakni ketidakmampuan menyediakan agunan untuk mendapatkan kredit.
Kesimpulan dan Rekomendasi
            Sektor pertanian memilik peran yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa Indonesia. Selain menyerap paling banyak tenaga kerja, sektor ini juga memiliki porsi yang signifikan dalam menyumbang PDB. Namun berbagai masalah masih banyak membelit petani dan butuh solusi kongkrit untuk mengatasinya, salah satu yang paling krusial adalah masalah akses pembiayaan.
            Skim pembiayaan syariah dapat menjadi angin segar bagi permasalahan pertanian. Banyak peluang yang dimiliki dari skim ini yakni, bebas bunga;menciptakan rasa adil, cocok dengan budaya petani;maro,mertelu, pertanian merupakan sektor riil;tidak spekulatif, dan bersifat universal.
            Hanya saja porsi dari pembiayaan syariah pada sektor pertanian saat ini sangat minim sehingga diperlukan adanya inovasi-inovasi dari berbagai pihak. Pertama dari pihak perbankan syariah yang bekerjasama dengan  universitas untuk menyediakan volunteer dari mahasiswa program KKN guna memberikan pelatihan berupa pelatihan pembuatan proposal atau cash flow dan pengelolaan keuangan. Kedua, dari pihak swasta atau pemerintah dengan pendirian lembaga asuransi syariah pertanian.  Ketiga, dari pemerintah dengan pendirian lembaga penjamin kredit. Jika semua inovasi ini diterapkan secara maksimal, maka perbankan syariah akan semakin melirik sektor pertanian sehingga permasalahan akses modal dapat teratasi.
            Ketika petani sudah tidak dihadapkan pada permasalahan akses modal, kinerjanya akan lebih optimal sehingga produktifitas juga semakin maksimal. Profitabilitas pun juga meningkat, dan akhirnya kesejahteraan petani akan terwujud. Dilihat dari aspek makro, kesejahteraan petani yang meningkat dapat mengurangi angka kemiskinan dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Indonesia juga akan semakin berdaulat dibidang pangan sebab telah terlepas dari ketergantungan akan pihak asing. Krisis pangan dapat dihindari bahkan kita akan kembali menjadi Negara pengekspor bahan pangan dunia.  
“PETANI SEJAHTERA NEGARA JAYA”
           


DAFTAR PUSTAKA
Ashari dan Saptana, 2005, “Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian”, Paper, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor.
Ali , Mahbubi, 2010, Ekonomi Islam Substantif, Artikel
Antonio, M. S, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Gema Insani Press, Jakarta.
Pembiayaan Syariah Lebih Mengandung Nilai Keadilan, Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 27, No.5, 2005
Soekartawi. 1996. Panduan Membuat Usulan Proyek Pertanian dan Pedesaan. Penerbit Andi Yogyakarta. 127 hal.
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/08/15/indonesia-negara-agraris-pengimpor-pangan/, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011, pukul 08.00, Surabaya.
bataviase.co.id/node/723852, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011, pukul 08.30, Surabaya.
http://www.sinartani.com/opini/agriwacana/748.html, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011, pukul 09.30, Surabaya.
http://ksatriaridy.blogspot.com/2010/04/asuransi-pertanian-syariah-sebagai.html , Asuransi Pertanian Syariah Sebagai Solusi Masalah Pertanian Di Indonesia