Call For Essay
INOVASI SKEMA PEMBIAYAAN SEKTOR PERTANIAN
BERLANDASKAN PRINSIP SYARIAH
Ditulis untuk mengikuti Lomba Call For Essay FSDE UGM 2011
Dipresentasikan pada 18 November 2011 di FEB UGM
Meraih Juara 1 pada Lomba Call For Essay FSDE UGM 2011 subsektor Pertanian
·
Barokah
Sasono Raharjo
·
M. Vitrho
H.P
Departemen Ekonomi
Syariah
Fakultas Ekonomi dan
Bisnis
Universitas Airlangga
2011
“Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu
dan batu jadi tanaman…”
Penggalan lagu “kolam susu” ini sudah tidak asing lagi bagi bagi sebagian
besar rakyat Indonesia khususnya para penggemar kelompok musik Koes Plus. Lagu
yang menggambarkan kekayaan alam nusantara tersebut masih cukup dikenal oleh
anak-anak muda di masa kini. Namun, masih relevankah lagu tersebut untuk
merepresentasikan Indonesia kita saat ini? Kekayaan alam yang telah
dikaruniakan kepada bangsa ini hendaknya dikelola dengan baik sehingga
bermanfaat secara adil bagi seluruh rakyat Indonesia, khususnya dalam hal
pemenuhan kebutuhan pangan. Bahkan jika pengelolaan yang baik tersebut
terlaksana, bukan mustahil Negara Indonesia akan menjadi kekuatan ekonomi dunia
sebagai penyedia bahan pangan.
Akan tetapi
kenyataannya Indonesia saat ini dihadapkan pada permasalahan pelik, yakni
ketergantungan impor bahan pangan. Berdasarkan data
BPS, selama semester I 2011 (Januari-Juni), Indonesia telah mengimpor bahan
pangan, baik mentah maupun olahan, senilai 5,36 milliar dollar AS atau sekitar
45 triliun rupiah dengan volume impor mencapai 11,33 juta ton. BPS mencatat,
Indonesia mengimpor sedikitnya 28 komoditi pangan mulai dari beras, jagung,
kedelai, gandum,terigu, gula pasir, gula tebu, daging sapi, daging ayam,
mentega, minyak goreng, susu, bawang merah, bawang putih, telur,kelapa, kelapa
sawit, lada, teh,kopi, cengkeh, kakao, cabai segar dingin, cabai kering tumbuk,
cabai awet, tembakau dan bahkan singkong alias ubi kayu juga diimpor.
Situasi
tersebut diperparah dengan kenestapaan nasib petani. Saat ini petani sering
dikonotasikan sebagai kaum marginal. Stigma yang muncul di masyarakat, petani
selalu hidup pas-pasan, kesejahteraan buruk, dan merupakan profesi yang tidak menjanjikan. Seakan yang jelek-jelek adalah
milik petani. Hidup petani telah
berada pada lingkaran setan (vicious circle). Stigma tersebut bukan
tanpa alasan, berdasar data BPS penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2007
tercatat 37,2 juta jiwa. Sekitar 63,4% dari jumlah tersebut berada di perdesaan
dengan mata pencaharian utama di sektor pertanian. Padahal sebagai negara agraris,
sektor pertanian seharusnya memperoleh perhatian khusus. Soekartawi (1996)
melihat peran penting sektor pertanian di antaranya sebagai andalan mata
pencaharian sebagian besar penduduk, sumbangannya terhadap PDB, kontribusi
terhadap ekspor (devisa), bahan baku industri, serta dalam penyediaan bahan
pangan dan gizi. Beberapa kali sektor pertanian juga terbukti mampu menjadi
penyangga perekonomian nasional saat terjadi krisis ekonomi. Oleh karena itu,
apabila sektor pertanian ini tidak mendapatkan perhatian yang serius maka
dampak-dampak negatif seperti pengangguran, kemiskinan, krisis pangan, dan
ketergantungan akan pihak asing akan semakin besar.
Walaupun
sangat strategis, sektor pertanian masih dihadapkan pada banyak masalah.
Pertama, Sumber Daya Manusia yang low-educated.
Kebanyakan petani tidak pernah mengenyam pendidikan tinggi sehingga pengelolaan
pertanian tidak berjalan optimal. Kedua, pertanian merupakan sektor yang
dianggap sangat berisiko untuk dijadikan lahan investasi. Ancaman gagal panen,
serangan hama, kekeringan, dan fluktuasi
harga yang tajam
sering menghantui investor untuk menanam modalnya. Ketiga, keterbatasan dana
atau modal petani. Masalah permodalan ini karena akses pembiayaan yang tidak
dimiliki petani yang disebabkan ketidakmampuannya menyediakan agunan,
terbatasnya jumlah dan jangkauan operasi bank sementara para petani rata-rata
hidup di pedesaan, kondisi pertanian yang besifat long-term (jangka
panjang) sementara perbankan menghadapi kebutuhan short term untuk
memenuhi kebutuhan likuiditas. Akumulasi dari permasalahan di atas menyebabkan jumlah
kredit yang disalurkan ke sektor pertanian hanya sekitar 5,28% dari total
kredit nasional.
Pembiayaan Syariah VS Konvensional
Kendala
permodalan telah menjadi fenomena umum sektor pertanian di Indonesia. Sampai saat ini mayoritas
kredit yang dikucurkan untuk sektor pertanian berasal dari pembiayaan konvensional
dan berbasis bunga. Sistem pembiayaan tersebut jika ditinjau lebih lanjut
ternyata memiliki dampak yang buruk bagi petani. Bunga sangat memberatkan
petani, karena untuk menghasilkan profit saja petani harus bersusah payah,
apalagi jika harus dibebani bunga.
Diakui atau tidak, pemberlakuan sistem bunga dalam skim pembiayaan atau kredit
oleh kebanyakan bank
konvensional
sangat kontraproduktif dengan sektor pertanian, apalagi tingkat suku bunga bank
yang saat ini sangat tinggi dinilai memberatkan dan kurang berpihak terutama
pada kepentingan petani sebagai komponen vital sektor pertanian. Bahkan
beberapa program pemerintah yang berkaitan dengan pembiayaan untuk sektor
pertanian juga tidak luput dari sistem bunga ini. Sebagai misal, kisaran tingkat
suku bunga setelah subsidi sebesar 6-7% yang berlaku pada program Kredit
Ketahanan Pangan dan Energi (KKP-E) dirasakan masih memberatkan (Deptan, 2009).
Di samping itu, tingkat suku bunga yang sedemikian tinggi akan membuat iklim
usaha pertanian semakin sulit karena pelaku usaha tani harus menyediakan dana
setiap bulannya untuk membayar bunga kepada bank, sementara sebagian besar
perhitungan keuntungan dalam usaha tani dilakukan setelah masa panen. Kondisi
usaha sektor pertanian akan semakin hancur dengan sistem bunga ini, ketika
bunga harus tetap dibayarkan walaupun usaha tani dalam kondisi merugi.
Menyikapi hal tersebut, maka diperlukan pola pembiayaan dengan sistem syariah.
Selain berbeda dengan konsep konvensional (bunga), pola yang berlaku dalam pembiayaan
sistem syariah lebih berprinsip pada pola bagi hasil yang saling menguntungkan.
Sudah saatnya ada sistem pembiayaan alternatif yang tidak hanya
memperkuat modal usaha pertanian, namun juga mengandung nilai-nilai keadilan. Model
pembiayaan syariah diharapkan menjadi salah satu solusinya.
Secara teori,
ada tiga hal yang menjadi ciri dari pembiayaan berbasis syariah, yaitu (1)
bebas bunga, (2) berprinsip bagi hasil dan risiko, dan (3) perhitungan bagi
hasil tidak dilakukan di muka. Berbeda dengan kredit konvensional yang
memperhitungkan suku bunga di depan, ekonomi syariah menghitung hasil setelah
periode transaksi berakhir. Hal ini berarti dalam pembiayaan syariah pembagian
hasil dilakukan setelah ada keuntungan riil, bukan berdasar hasil perhitungan
spekulatif. Sistem bagi hasil ini dipandang lebih sesuai dengan iklim bisnis
yang memang mempunyai potensi untung dan rugi. Baik sistem bunga maupun bagi
hasil sebenarnya sama-sama dapat memberikan keuntungan bagi pemilik dana
(bank/lembaga keuangan), namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata.
Peluang Pembiayaan Syariah untuk
Pertanian
Per awal November 2009 silam, masyarakat dapat menikmati layanan jasa
perbankan syariah melalui 1.101 kantor bank syariah yang dioperasikan oleh 6
Bank Umum Syariah dan 25 UUS dan 138 BPR Syariah. Pertumbuhan perbankan syariah memberikan harapan akan
semakin besarnya peran perbankan syariah untuk pembiayaan sektor riil, termasuk
pertanian. Harapan ini setidaknya dilandasi oleh beberapa hal, pertama karakteristik pembiayaan
syariah sesuai dengan kondisi bisnis pertanian. Dalam dunia bisnis (termasuk
pertanian), pasang surut usaha merupakan keniscayaan. Skim pembiayaan syariah,
terutama bagi hasil, sangat sesuai dengan sifat bisnis pertanian sehingga lebih
memberikan rasa keadilan. Kedua, model pembiayaan syariah sudah
dipraktekkan secara luas oleh petani Indonesia. Secara budaya masyarakat petani
sudah mengenal model pembiayaan yang menyerupai system syariah seperti maro dan
mertelu. Petani akan lebih mudah dan cepat memahami konsep pembiayaan
syariah karena secara historis maupun faktual pernah atau masih mempraktekkan
skim tersebut.
Ketiga, usaha di
sektor pertanian merupakan bisnis riil. Hal ini sesuai dengan prinsip
pembiayaan syariah yang menitikberatkan pada pembiayaan sektor riil dan
melarang pembiayaan pada sektor yang spekulatif. Subprime mortgage pada tahun 2008 di Amerika dan krisis utang yang
melanda Eropa saat ini merupakan dampak negatif dari investasi di sektor
spekulatif.
Terakhir, skim pembiayaan syariah ini mengandung nilai yang bersifat universal dan tidak
eksklusif sehingga akan mempermudah penerimaan konsep pembiayaan syariah oleh
semua lapisan
Inovasi
Meskipun
perbankan syariah sangat berpeluang untuk membiayai sektor pertanian, namun demikian, pada
kenyataannya penyaluran pembiayaan perbankan syariah terhadap sektor pertanian
masih relatif kecil, bahkan pada tahun 2010 persentasenya hanya mencapai angka
2,58 persen. Kecilnya alokasi pembiayaan ini selain disebabkan
berbagai masalah yang telah disebutkan di atas, juga disebabkan pihak perbankan
syariah belum menciptakan inovasi-inovasi untuk mengembangkan dan mendongkrak
pembiayaan di sektor pertanian. Inovasi tersebut dapat berupa pendampingan, pelatihan
dan penyuluhan bagi para petani. Pelatihan ini tidak terbatas pada bagaimana
cara bertani yang baik dan efisien serta menghasilkan produk unggulan, namun
perlu juga pelatihan dalam cara membuat proposal atau cash flow usaha dan
pengelolaan keuangan untuk mempermudah mendapat akses pembiayaan dari pihak
perbankan. Pelatihan semacam ini dapat terlaksana dengan kerja sama antara
pihak perbankan Syariah dan universitas dengan memanfaatkan program KKN (Kuliah
Kerja Nyata). Materi pelatihan ini difokuskan pada bagaimana cara membuat
proposal atau cash flow yang mudah
dimengerti petani dan dapat diterima perbankan Syariah. Dengan begitu, cost yang dikeluarkan bank-bank Syariah
untuk mengadakan pelatihan ini dapat diminimalisir karena yang terjun langsung
ke lapangan adalah mahasiswa yang berperan sebagai volunteer.
Selain
itu, inovasi yang perlu dikembangkan dalam skim pembiayaan sektor pertanian
berlandaskan syariah adalah pendirian lembaga asuransi syariah pertanian. Khusus
untuk asuransi syariah, di samping di dalamnya terdapat konsep berasuransi
secara universal, juga terdapat nuansa syariah dalam standar penerapannya.
Asuransi syariah menurut Dewan Syariah Nasional adalah usaha untuk saling
melindungi dan tolong menolong di antara sejumlah orang melalui investasi dalam
bentuk aset dan atau tabarru‘ yang
memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko atau bahaya tertentu melalui
akad yang sesuai syariah. Apalagi Ajaran Islam memerintahkan umatnya untuk
menyantuni orang yang kehilangan harta benda, kematian kerabat maupun musibah
lainnya. Tindakan tersebut merupakan wujud kepedulian dan solidaritas (itsar), serta tolong menolong (ta‘awun) antar warga masyarakat, baik
muslim maupun non-muslim. Dengan cara demikian rasa persaudaraan (ukhuwah) akan
semakin kokoh. Melihat tingginya risiko sektor pertanian, lembaga
ini sangat urgen keberadaaanya untuk mengurangi beban petani akibat adanya
gagal panen, bencana, serangan hama, dan hal-hal yang tidak diharapkan lainnya.
Efek selanjutnya NPL (Non Performing Loan)
dari petani akan tereduksi sehingga perbankan akan semakin melirik sektor
pertanian.
Peran pemerintah juga sangat diharapkan untuk
membuka lebih lebar akses pembiayaan sektor pertanian. Masalah yang sangat
fundamental dalam pembiayaan ini adalah unsur trust yang kurang dari pihak perbankan terhadap sektor pertanian.
Untuk mengatasi hal ini, pemerintah hendaknya mendirikan sebuah lembaga
penjamin kredit sektor pertanian. Lembaga ini bertugas menjamin alokasi kredit
yang dikucurkan perbankan syariah sehingga apabila sewaktu-waktu terjadi kredit
macet maka pihak bank tidak mengalami kerugian. Besaran jaminan yang ditentukan
hendaknya dibahas lebih lanjut oleh para pengambil kebijakan. Berapapun besaran
jaminan yang diberikan, paling tidak dapat meningkatkan trust dari perbankan untuk membiayai sektor pertanian. Selain itu,
lembaga ini akan menyelesaikan masalah klasik petani, yakni ketidakmampuan
menyediakan agunan untuk mendapatkan kredit.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Sektor pertanian memilik peran yang
sangat strategis bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa Indonesia.
Selain menyerap paling banyak tenaga kerja, sektor ini juga memiliki porsi yang
signifikan dalam menyumbang PDB. Namun berbagai masalah masih banyak membelit
petani dan butuh solusi kongkrit untuk mengatasinya, salah satu yang paling
krusial adalah masalah akses pembiayaan.
Skim pembiayaan syariah dapat
menjadi angin segar bagi permasalahan pertanian. Banyak peluang yang dimiliki
dari skim ini yakni, bebas bunga;menciptakan rasa adil, cocok dengan budaya
petani;maro,mertelu, pertanian
merupakan sektor riil;tidak spekulatif, dan bersifat universal.
Hanya saja porsi dari pembiayaan
syariah pada sektor pertanian saat ini sangat minim sehingga diperlukan adanya
inovasi-inovasi dari berbagai pihak. Pertama dari pihak perbankan syariah yang
bekerjasama dengan universitas untuk
menyediakan volunteer dari mahasiswa
program KKN guna memberikan pelatihan berupa pelatihan pembuatan proposal atau cash flow dan pengelolaan keuangan.
Kedua, dari pihak swasta atau pemerintah dengan pendirian lembaga asuransi
syariah pertanian. Ketiga, dari
pemerintah dengan pendirian lembaga penjamin kredit. Jika semua inovasi ini
diterapkan secara maksimal, maka perbankan syariah akan semakin melirik sektor
pertanian sehingga permasalahan akses modal dapat teratasi.
Ketika petani sudah tidak dihadapkan
pada permasalahan akses modal, kinerjanya akan lebih optimal sehingga
produktifitas juga semakin maksimal. Profitabilitas pun juga meningkat, dan
akhirnya kesejahteraan petani akan terwujud. Dilihat dari aspek makro,
kesejahteraan petani yang meningkat dapat mengurangi angka kemiskinan dan
mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Indonesia juga akan semakin berdaulat
dibidang pangan sebab telah terlepas dari ketergantungan akan pihak asing.
Krisis pangan dapat dihindari bahkan kita akan kembali menjadi Negara
pengekspor bahan pangan dunia.
“PETANI
SEJAHTERA NEGARA JAYA”
DAFTAR PUSTAKA
Ashari dan
Saptana, 2005, “Prospek Pembiayaan Syariah untuk Sektor Pertanian”, Paper, Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Bogor.
Ali , Mahbubi, 2010, “Ekonomi
Islam Substantif”, Artikel
Antonio, M. S, 2001, Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Gema Insani
Press, Jakarta.
Pembiayaan
Syariah Lebih Mengandung Nilai Keadilan, Warta Penelitian dan Pengembangan
Pertanian Vol. 27, No.5, 2005
Soekartawi. 1996. Panduan Membuat Usulan Proyek Pertanian dan Pedesaan.
Penerbit Andi Yogyakarta. 127 hal.
http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/08/15/indonesia-negara-agraris-pengimpor-pangan/, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011, pukul 08.00, Surabaya.
bataviase.co.id/node/723852, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011, pukul
08.30, Surabaya.
http://www.sinartani.com/opini/agriwacana/748.html, diakses pada tanggal 16 Oktober 2011, pukul 09.30, Surabaya.
http://ksatriaridy.blogspot.com/2010/04/asuransi-pertanian-syariah-sebagai.html
, Asuransi Pertanian Syariah Sebagai Solusi Masalah Pertanian Di Indonesia